Sabtu, 25 September 2010

SIDIK JARI - THE LITLE THING Part-1


Aku  berhak punya 1000 bahkan sejuta renungan kecil - karena menurutku, elit bangsa besar kita INDONESIA RAYA TERCINTA ini selalu berpikir dengan konsep besar tanpa pernah peduli untuk memikirkan hal hal KECIL yang cukup esensi.

Sengaja aku acak - mumpung masih hangat kejengkelanku dengan kinerja BPS dan DEPDAGRI dengan SENSUS KEPENDUDUKAN 2010.

Ketika negara lain sudah mulai dengan Nomor Kependudukan yang dimulai dari angka 1 sampai digit terakhir jumlah penduduknya, atau Indonesia dengan 200 juta sekian angkanya, dimana data kependudukan adalah nomor urut anak negeri, dengan indeksasi wilayah tempat pencatatan kelahiran atau daerah, sesuai dengan kartu keluarganya - tapi bangsa yang besar ini dan sudah 65 tahun mengenyam kemerdekaan,  dizaman yang sudah serba computerize ini, masih banyak anak negeri yang memiliki KTP ganda – terlintas dalam pikiran, koq masih banyak anak negeri yang tidak terdaftar ketika PEMILU - koq masih banyak anak negeri yang kesulitan mengurus sekolah karena tidak punya akte kelahiran, tanggal kelahirannya berbeda, nama yang tidak sesuai dengan kartu keluarga dan lain sebagainya - yang tidak tercatat sebagi anak miskin, anak terlantar , anak jalanan, sehingga badan amal dan yayasan swasta yang harus pusing menanggulangi dan memikirkan makan serta pendidikannya.

Itu satu hal mengenai data - sudah berapa kali sejak merdeka bangsa ini melaksanakan sensus penduduk dan apa hasil maksimalnya, berapa banyak dana yang dikeluarkan.

Kita boleh tertawa ketika pihak kepolisian sibuk  mendeteksi sidik jari pelaku kejahatan perampokan sebuah bank malaysia (tidak usah dan tidak perlu pakai m besar) di Medan - iya jika pelakunya pernah membuat SIM , bisa juga jika salah satu pelakunya pernah berurusan dengan pihak Kepolisian, lho bangsa kita yang telah sekian kali sensus kan tidak pernah membuat dan mendata sidik jari penduduknya, jikalau pun pernah - hanya ketika kita membuat ijazah diwajibkan mencap sidik jarinya di salah satu sudut ijazah, itupun tidak menjamin data sidik jari itu menjadi data kependudukan atau data kepolisian, atau pada waktu membuat surat nikah,  tidak menjamin data sidik jari itu menjadi data kependudukan atau data kepolisian juga.

Kecuali jika memang benar kita pernah berurusan dengan pihak kepolisian dalam satu kasus kriminal, itu baru menjadi data kepolisian - itupun disimpan dalam buku log seperti buku besar keuangan, jadi ketika mencarinya pun sulit bukan main dan pasti manual.

Belum pernah terekspose di negeri ini terungkapnya satu kasus - baik mayat korban mutilasi, korban bencana alam, kecelakaan pesawat terbang, korban perahu tenggelam, korban kriminal atau pelaku kejahatannya sendiri dapat terdeteksi dan terungkap pelakunya karena data sidik jarinya atau rekam giginya. 

Hal kecil ini yang tidak dilakukan pada saat Sensus Penduduk negeri ini, apa susahnya dan apa kendalanya, sensus penduduk sekalian pembuatan sidik jari nasional dan hasilnya jadi NIK, nomor induk kependudukan yang secara database tidak mungkin ganda.

Di negeri lain sudah sampai taraf rekam gigi selain sidik jari, kita masih bekerja setengah hati, itupun tidak tuntas, masih jadi wacana SISDUKNAS, sistim kependudukan nasional yang entah sampai kapan.

Selain sebagai bangsa yang tidak terlalu menghargai Arsip, arsip dalam pengertian yang sangat luas - bukan semata dokumen, tetapi arsip dalam pengertian yang seluas luasnya, kita kehilangan pulau juga dikarnakan bobroknya arsip kita. Kita kehilangan banyak bangunan bersejarah, tempat tempat bersejarah yang tidak terawat, musium  musium kecil yang tidak ada pengunjung, karena memang kemasannya sebagai tempat tujuan wisata dan pendidikan  kurang menarik, dikarenakan pemerintah setengah hati menanganinya, bangsa ini - pengelola negeri ini, selalu merubah sistem dengan siapa yang sedang berkuasa, tidak ada kesinambungan, ganti menteri ganti PERMEN, ganti gubernur ganti PERDA, selalu beralasan dengan keterbatasan anggaran - tetapi ketika melakukan kerja masal secara nasional, ada satu hal terlupakan yaitu kesinambungan, padahal bisa dikerjakan sekaligus, secara bersamaan tanpa dana tambahan.

Seperti menggali saluran kabel utuk kepentingan TELKOM, sebulan kemudian PLN melakukan hal yang sama pada jalur dan jalan yang sama - 2 bulan kemudian dinas PU melakukan hal yang sama pada jalur dan jalan yang sama, sekedar mengejar tutup tahun anggaran - tetapi kemacetan yang dibuat oleh ketiga instansi tersebut teramat menyiksa para pemberi dana pekerjaan mereka tersebut, yaitu kita – anak bangsa yang membayar pajak, retribusi , tagihan listrik dan telpon.
 
Ayo mulai dari hal kecil
REACH FOR THE REAL GREAT INDONESIA

1 komentar:

Anonim mengatakan...

membaca seluruh blog, cukup bagus